Padahal Sudah Sholat, Dzikiran dan Baca Al-Qur'an, Kenapa masih marah?

Untuk mengetahui kenapa kita masih marah padahal sudah sholat, sudah hafal surat Al-Ikhlas, Al-Falaq dan An-Nas, sudah dzikiran, sudah muthola'ah dan mengaji maka kita perlu mengetahui jati diri kita secara hakikiyah. Manusia pada dasarnya secara fitrah hakikiyahnya dalam dirinya terdapat beberapa komponen nonfisik, yang tak tampak oleh indrawi. Komponen-komponen tersebut dijelaskan dalam Al-Qur'an dan Hadist Nabi Muhammad SAW, di antaranya hati, akal pikiran, nafsu, dan ego. 

Mari kita bahas tentang hati, dalam tataran hakikat hati manusia identik dengan perasaan. Mengapa dikatakan demikian, karena manusia sering mengungkapkan "sakit rasanya hati ini" ketika mendapat perlakuan tidak baik dari makhluk lainnya. Ucapan itu sudah umum dan terkadang direfleksikan tangisan air mata sambil memegang dadanya, seolah-olah hatinya terletak di dadanya. 










Jika hati yang mengambil peran maka kelakuan manusia akan merefleksikan kebaikan. Karena watak dasar hati cenderung ke hal-hal positif sesuai fitrah kejadiannya.  Hati yang dimaksud disini bukan hati dalam segi istilah anatomi biologi kedokteran, melainkan hati dari pandangan agama yang non-indrawi. Meskipun hati berperan besar dalam hal yang positif, akan tetapi perasaan sakit terluka karena kata-kata atau akibat tindakan lainnya justru diidentikkan dan merujuk pada (perasaan) hati juga. Inilah keunikan hati manusia, tak berwujud secara fisik tapi perasaan yang ditimbulkannya bisa mempunyai dampak pada jasad fisik manusianya. Kalau mendapat sesuatu yang baik muncul ekspresi berurai air mata bahagia, sebaliknya jika mendapat sesuatu yang buruk menangis bercucuran air mata kesedihan terkadang melampiaskan dengan tindakan destruktif.

Akal pikiran manusia dibekali dengan otak, sebuah alat memyimpan data-data aktifitas manusia selama hidupnya di dunia. Ada dua alat tambahan untuk memyimpan data-data yang masuk ke otak yaitu mata dan telinga. Apa yang dilihat dan didengar akan tersimpan secara otomatis ke otak. Maka dari itu, sebaiknya gunakan mata untuk melihat yang baik-baik dan gunakan telinga untuk mendengar yang baik-baik agar data yang tersimpan juga data yang baik. Jangan mengotori otak dengan data-data yang tidak baik (menonton video tidak sesuai ajaran agama, melihat sesuatu yang haram, menggunjing, mendengar berita bohong, dll)  agar selamat dari virus kehidupan.




Kalau akal pikiran dibiasakan menyimpan data-data aktifitas kehidupan yang baik, maka produk tindakannya akan baik. Pergunakan kedua mata dan telinga kita untuk mengkonsumsi hal-hal kontrukstif yang positif agar kebiasaan dan prilaku kita dapat menginspirasi  orang lain untuk berbuat baik.

Nafsu berbeda dengan hati, komponen ini lebih cenderung kepada keinginan, baik itu keinginan lahiriyah (makan, minum, jalan-jalan, kebutuhan seksual, dll) atau keinginan lain seperti ambisi, menguasai, cita-cita atau harapan. Nafsu merupakan komponen yang mendorong manusia untuk berbuat lebih, sehingga terciptalah aneka kreasi dan inovasi fisik di dunia. Kalau tidak ada nafsu, mungkin dunia tidak ada gedung-gedung pencakar langit, mobil mewah, rumah kondominium super wah, mode fashion pakaian yang indah, dll.




Tanpa nafsu dunia tidak akan terisi dengan produk dan kreasi budaya serta teknologi yang maju. Karena nafsulah manusia terdorong untuk selalu menciptakan sesuatu yang baru, mencoba-coba perbuatan yang belum pernah dialaminya. Adapun sisi negatif dari nafsu ialah perbuatan nafsu yang eksesif berlebihan akan mengakibatkan kerusakan pada diri manusia dan lingkungan tempat tinggalnya, bahkan keluarganya. Contohnya kongkritnya munculnya konflik sesama manusia karena tidak cocok dengan keinginan nafsunya, saling tuntut menuntut di jalur hukum, dan konflik - konflik sosial lainnya.

Sedagkan ego, memiliki peran dalam hal eksistensi pengakuan ingin diakui "aku"nya. Determinasi ke"aku"nya ingin dihargai, dihormati, dituruti, disanjung, dipuji segala hasil tindakannya. Kalau tidak "aku" mana mungkin bisa terwujud, kalau tidak "aku" kalian bisa apa, dan lain-lain.






Intinya menganggap "aku" yang paling baik, paling mampu, paling hebat, paling kaya, paling cerdas, paling layak jadi pimpinan, dll.

Dari uraian di atas, bisa disimpulkan kenapa manusia masih bisa marah yaitu adanya ketidaksinkronnya tidak match antara keinginan hati, nafsu dan egonya karena ada pertentangan dari pihak lain. Ketika keinginannya tidak dituruti, tidak tercapai muncullah dorongan kemarahan dari Nafsu syahwat dan egonya, karena tidak sesuai penafsiran akal pikirannya yang emosional. Singkatna, "Pokoknya kalau tidak sesuai keinginan dan pikiran saya, pasti munculah kemarahan secara tiba-tiba". 

Luapan amarahnya terkadang lepas kendali, berujung konflik tak berkesudahan karena "ego"nya menjadi besar, hatinya tersakiti oleh pihak yang kontradiktif dari luar dirinya. 

Kalau saja, manusia hanya memiliki komponen hati tentu tidak ada istilah kemarahan tapi dunia stagnan karena tidak ada hasrat keinginan selain Tuhan. Sebaliknya, jika manusia tanpa hati hanya ego dan nafsu tentu akan tercipta keserakahan dan kerusakan. Maka dari itu perlunya doktrin kesabaran dan keikhlasan agar terjadi keseimbangan dari beberapa komponen tersebut. Akan tetapi prakteknya, kesabaran dan keikhlasan adalah hal yang paling sulit dilakukan.

Semoga kita bisa menjaga keseimbangan, meskipun sulit tetap diusahakan dan diistiqomahkan. Amin.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Destinasi Wisata Pantai di Malang Selatan

Jalur ke JLS Malang via Gondanglegi dan Bantur

Menyusuri Jalanan Merenungi Realita Penciptaan