Egosentrisme dan Narsisme

Egosentrisme adalah sifat ke"aku"an yang merasa diri sendiri lebih superior dan menganggap orang lain inferior. Superior dalam hal apapun, misalnya "aku" pintar, "aku" kaya, pangkat "aku" lebih tinggi darimu sehingga semua keputusan "aku" harus kau laksanakan, status sosial "aku" lebih baik dari dirimu jadi kamu harus hormat kepada "aku", dan lain - lain. Akibat dari dari "aku" yang berlebihan munculah kesombongan dalam bahasa agama takabur. Menganggap diri kita memiliki superioritas dari yang lainnya adalah anggapan yang tidak benar, semua manusia memiliki kelebihan dan keunikan masing-masing sebagai anugrah dari Tuhan Yang Maha Esa.



Adapun narsisme merupakan sikap mental atau kepribadian yang ingin dikagumi, dipuji dari orang lain. Sehingga dalam dunia nyata muncullah aksesoris-aksesoris penghias diri dan properti milik pribadi. Bahkan di dunia medsos adalah istilah filter foto agar dapat like dan komen sebanyak-banyaknya. Dalam bahasa agama disebut sum'ah, lawan katanya qona'ah atau bisa juga ikhlas. Sifat ini jika tidak disadari dan dikelola dengan benar akan menjadi penyakit psikis yang bisa merusak kesehatan mental diri sendiri dan lingkungan sekitarnya.

Orang yang egois dan kecanduan narsis akan mudah putus asa jika tidak ada perhatian dari orang lain. Dia akan merasa terisolasi karena sikap mental yang ada dalam dirinya, karena kedua sikap tersebut tanpa melibatkan orang lain tidak akan memunculkan kebahagiaan. Misalnya; kita posting di medsos dengan gaya dan modal aksesoris serta filter yang dianggap baik ternyata tidak ada respon "like" dan "komen" tentu akan memunculkan kesedihan dalam diri. Contoh lain, misalkan kita sudah memakai pakaian yang bagus, tas bagus, harga super mahal dan minyak parfum yang wangi ternyata ketika tiba di pesta tidak ada yang memperhatikan dan memuji bahkan tidak ada teman untuk ngobrol, sedihlah hati kita. 

Terkadang kita harus menyadari kedua sikap tersebut muncul tiba-tiba dalam diri kita. Jika kita tidak segera menyadarinya maka kita akan mengalami gangguan mental yang tidak kecil dan butuh proses waktu lama untuk menyembuhkannya. Potensi sifat - sifat tersebut perlu kita waspadai, sejak dini harus kita lakukan intropeksi, evaluasi diri dengan sikap-sikap protektif seperti meminimalkan kata "aku" dalam melakukan aktivitas sosial terutama bakti sosial. Hindari juga bergaul dengan orang yang memiliki kejiwaan jauh dari prinsip-prinsip agama. 

Self-healing (tazkiyatun nufus) perlu secara rutin dilakukan dengan mengkoneksikan diri dengan hal-hal positif agar selalu dekat dengan Tuhan sehingga kita mengetahui jati diri kita sebenarnya di hadapan-Nya bukan di hadapan makhluk-Nya. Sesama makhluk tidak perlu mencari - cari yang sifatnya nisbi delusive.

Demikian, semoga bermanfaat bagi kita semua ya guys. Terima kasih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Destinasi Wisata Pantai di Malang Selatan

Jalur ke JLS Malang via Gondanglegi dan Bantur

Menyusuri Jalanan Merenungi Realita Penciptaan